Probolinggo - Setiap daerah memiliki cerita rakyatnya masing-masing. Kearifan lokal itu harus dijaga kelestariannya, tak terkecuali di Kawasan Bromo Tengger Semeru pun demikian.
Pagelaran Eksotika Bromo 2017, yang dilangsungkan di lautan pasir Gunung Bromo. Kegiatan ini menjelang perayaan upacara Yadya Kasada, Senin dini hari (11/7).
Telah turut hadir di lokasi Wiratno, selaku Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Menurutnya, sesuatu ritual ini memang harus dikembangkan, di mana kesenian budaya daerah dan perkawinan budaya lama utamanya di Tengger Bromo harus dihidupkan kembali.
Dirinya sangat mendukung kegiatan budaya dilaksanakan di sebuah obyek wisata seperti di Bromo. Karena sebuah tradisi yang kemudian disebut kearifan lokal ini juga termasuk pemeliharaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di masing-masing daerah.
"Saya sangat mendukung kegiatan semacam ini dan saya berharap tradisi budaya tidak akan sirna begitu saja. Gunung Bromo merupakan obyek wisata internasional yang harus terus dikembangkan. Kegiatan budaya di lautan pasir merupakan sesuatu yang unik dan menarik juga sangat bagus," ujar Wiratno, saat tengah hadir di Eksotika Bromo, Sabtu (8/7/2017).
Pagelaran Eksotika Bromo 2017, yang dilangsungkan di lautan pasir Gunung Bromo. Kegiatan ini menjelang perayaan upacara Yadya Kasada, Senin dini hari (11/7).
Telah turut hadir di lokasi Wiratno, selaku Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Menurutnya, sesuatu ritual ini memang harus dikembangkan, di mana kesenian budaya daerah dan perkawinan budaya lama utamanya di Tengger Bromo harus dihidupkan kembali.
Dirinya sangat mendukung kegiatan budaya dilaksanakan di sebuah obyek wisata seperti di Bromo. Karena sebuah tradisi yang kemudian disebut kearifan lokal ini juga termasuk pemeliharaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di masing-masing daerah.
"Saya sangat mendukung kegiatan semacam ini dan saya berharap tradisi budaya tidak akan sirna begitu saja. Gunung Bromo merupakan obyek wisata internasional yang harus terus dikembangkan. Kegiatan budaya di lautan pasir merupakan sesuatu yang unik dan menarik juga sangat bagus," ujar Wiratno, saat tengah hadir di Eksotika Bromo, Sabtu (8/7/2017).
Sebuah upaya untuk mempertimbangkan dan lebih menguatkan nilai-nilai adat dan budaya yang masih hidup dan nyata memiliki unsur-unsur penghargaan terhadap alam, spirit menjaga dan melestarikan alam, ke dalam berbagai aspek pembangunan kehutanan.
"Banyak kawasan hutan yang secara adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan kehidupan kelompok-kelompok masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus menggali dan mendorong nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola,"tambahnya.
Secara singkat, Hari Raya Yadya Kasada adalah hari di mana ada upacara sesembahan kepada Sang Hyang Widhi di setiap bulan Kasada hari ke-14 dalam penanggalan Jawa.
"Banyak kawasan hutan yang secara adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan kehidupan kelompok-kelompok masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus menggali dan mendorong nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola,"tambahnya.
Secara singkat, Hari Raya Yadya Kasada adalah hari di mana ada upacara sesembahan kepada Sang Hyang Widhi di setiap bulan Kasada hari ke-14 dalam penanggalan Jawa.
Hal itu bermula dari kisah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra Brahmana)---yang dikemudian menjadi asal mula suku Tengger yang diambil dari nama belakang keduanya. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun desa dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat ing Tengger, yang mempunyai arti 'Penguasa Tengger yang Budiman'.
Mereka tidak di karunia anak sehingga mereka melakukan semedi kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya mendapat jawaban terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian dikaruniai 25 orang putra-putri. Namun, pengorbanan tidak dilakukan karena keduanya tidak tega.
Mereka tidak di karunia anak sehingga mereka melakukan semedi kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya mendapat jawaban terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian dikaruniai 25 orang putra-putri. Namun, pengorbanan tidak dilakukan karena keduanya tidak tega.
Dewa pun marah dengan memberi malapetaka. Kemudian terjadilah gonjang ganjing di Gunung Bromo dan menyemburkan api. Kesuma, anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo.
Bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib yang mengatakan bahwa ia telah masuk ke kawah Bromo. Maka dari itu, agar hidup saudaranya dapat damai dan tenteram maka sembahlah Sang Hyang Widhi dan menjadi pengingat agar setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan upacara adat di kawah Gunung Bromo.
Bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib yang mengatakan bahwa ia telah masuk ke kawah Bromo. Maka dari itu, agar hidup saudaranya dapat damai dan tenteram maka sembahlah Sang Hyang Widhi dan menjadi pengingat agar setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan upacara adat di kawah Gunung Bromo.
( FAZ/ www.garasigaming.com )